Kamis, 17 Maret 2011

BRONKIEKTASIS


STIKES SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
                                            
                                        

      KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
                                   OLEH
RUSMINI/A/KP/VI
04.08.1909
Asuhan Keperawatan Bronkiektasis

BAB I
TINJAUAN LITERATUR
A.   Definisi
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, dan benda-benda dari saluran pernafasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfa ( Brunner & Suddart, 2002 ).
Bronciectasis is characterized by permanent abnormal dilation of one or more large bronchi and destruction of bronchial wallsn ( Pristilla & Karen, 2004 ).
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) bronkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik
( Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2001 ).
Bronkiektasis adalah keadaan yang disertai dengan dilatasi kronik bronkus dan bronkiolus ukuran sedang ( Price & Wilson, 1995 ).
Bronkiektasis (Bronchiectasis) adalah suatu perusakan dan pelebaran (dilatasi) abnormal dari saluran pernafasan yang besar ( www.goggle.com ).
Bronkiektasis berarti suatu  dilatasi yang tak dapat pulih lagi dari bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis  berulang dan memanjang, aspirasi benda asing, atau massa ( missal : neoplasma ) yang menghambat lumen bronchial dengan obstruksi ( Hudak & Gallo, 1997 ). 
Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah satu atau lebih cabang-cabang bronkus yang besar ( Barbara , 1998).
B. Etiologi
Menurut Suyono (2001) etiologi dari penyakit bronkiektasis adalah :
1.      Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberculosis paru, dan sebagainya.
2.      Kelainan herediter atau kelainan konginetal
Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak dalam kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting. Biasanya memiliki ciri mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau dua paru. Biasanya disertai dengan penyakit kongenital lainnya.
3.      Obstruksi bronkus
Obstruksi yang dimaksud seperti korpus alienum, karsinoma bronkus dan tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus..
Menurut www.goggle.com (2008) bronkiektasis disebabkan oleh :
a.       Infeksi pernafasan
1.)    Campak
2.)    Pertusis
3.)    Infeksi adenovirus
4.)    Infeksi bakteri contohnya Klebsiella, Staphylococcus atau Pseudomonas
5.)    Tuberkulosa
6.)    Infeksi jamur
7.)    Infeksi mikoplasma
b.      Penyumbatan bronkus
1.)    Benda asing yang terisap
2.)    Pembesaran kelenjar getah bening
3.)    Tumor paru
4.)    Sumbatan oleh lendir
c.       Cedera penghirupan
1.)    Cedera karena asap, gas atau partikel beracun
2.)    Menghirup getah lambung dan partikel makanan
d.      Keadaan genetik
1.)    Fibrosis kistik
2.)    Diskinesia silia, termasuk sindroma Kartagener
3.)    Kekurangan alfa-1-antitripsin
e.       Kelainan imunologik
1.)    Sindroma kekurangan imunoglobulin
2.)    Disfungsi sel darah putih
3.)    Kelainan autoimun atau hiperimun tertentu seperti rematoid artritis, kolitis ulserativa
f.       Keadaan lain
1.)    Penyalahgunaan obat (misalnya heroin)
2.)    Infeksi HIV
3.)    Sindroma Young (azoospermia obstruktif)
4.)    Sindroma Marfan.
C. Klasifikasi
Menurut Suyono (2001) berdasarkan atas bronkografi dan patologi bronkiektasis dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1.      Bronkiektasis tabung (Tubular, Cylindrikal, Fusiform Bronchiectasis)
Bentuk ini sering ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronkiektasis kronik.
2.      Bentuk kantong (Saccular Bronchiectasis)
Ditandai dengan dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler, bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista.
3.      Varicose Bronchiectasis
Merupakan gabungan dari kedua bentuk sebelumnya. Istilah ini digunakan karena bronkus menyerupai varises.
D. Patofisiologi
Menurut Brunner & Suddarth (2002) patofisiologi dari bronkiektasis dimulai dari Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat, infeksi melebar sampai ke peribronkial, sehingga dalam kasus bronkiektasis sekular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Brokiektasis biasanya setempat, menyerang lobus segmen paru. Lobus yang paling bawah sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli disebelah distal obstruksi mengalami kolaps (atelektasis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang di inspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksimia.
 E. Tanda dan Gejala
                  Menurut buku Suyono (2001) tanda dan gejala dari penyakit bronkiektasis sebagai berikut :
1.      Batuk
Hemoptisis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik, jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi hari sesudah ada posisi tidur atau bangun dari tidur. Seputum terdiri atas tiga lapisan :
a.       Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mukus
b.      Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva,
c.       Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak
2.      Hemoptisis
Terjadi akibat nekrosis atau dekstruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul pendarahan.
3.      Sesak napas (dispnea)
Timbulnya sesak napas tergantung pada luasnya bronkiektasis, kadang-kadang menimbulkan suara mengi akibat adanya obstruksi bronkus.
4.      Demam berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam (demam berulang)
5.      Kelainan Fisis
a.       Sianosis
b.      Jari tabuh
c.       Bronki basah
d.      Whezing
Menurut www.google.com (2008) tanda dan gejala  dari penyakit brokiektasis adalah :
1.      Batuk menahun dengan banyak dahak yang berbau busuk
2.      Batuk darah
3.      Batuk semakin memburuk jika penderita berbaring miring
4.      Sesak nafas yang semakin memburuk jika penderita melakukan aktivitas
5.      Penurunan berat badan
6.      Lelah
7.      Clubbing fingers (jari-jari tangan menyerupai tabuh genderang)
8.      Wheezing (bunyi nafas mengi/bengek)
9.      Warna kulit kebiruan
10.  Pucat
11.  Bau mulut.
F.  Pemeriksaan Diagnostik
1.      Pemerisaan Laboratorium.
a.       Pemeriksaan sputum meliputi volume sputum, warna sputum, sel-sel dan bakteri dalam sputum. Bila terdapat infeksi volume sputum akan meningkat, dan menjadi purulen dan mengandung lebih banyak leukosit dan bakteri. Biakan sputum dapat menghasilkan flora normal dari nasofaring, streptokokus pneumoniae, hemofilus influenza, stapilokokus aereus, klebsiela, aerobakter, proteus, pseudomonas aeroginosa. Apabila ditemukan sputum berbau busuk  menunjukkan adanya infeksi kuman anaerob.
b.      Pemeriksaan darah tepi.
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang  ditemukan adanya leukositosis menunjukkan adanya supurasi yang aktif dan anemia menunjukkan adanya infeksi yang menahun.
c.       Pemeriksaan urina
Ditemukan dalam batas normal, kadang  ditemukan adanya proteinuria yang bermakna yang disebabkan oleh amiloidosis, Namun Imunoglobulin serum biasanya dalam batas normal Kadan bisa meningkat atau menurun.
d.      Pemeriksaan EKG
EKG biasa dalam batas normal kecuali pada kasus lanjut yang sudah ada komplikasi korpulmonal atau tanda pendorongan jantung. Spirometri pada kasus ringan mungkin normal tetapi pada kasus berat ada kelainan obstruksi dengan penurunan volume ekspirasi 1 menit  atau penurunan kapasitas vital, biasanya disertai insufisiensi pernafasan  yang dapat mengakibatkan :
1.)    Ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
2.)    Kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri
3.)    Hipoksemia
4.)    Hiperkapnia
e.       Pemeriksaan tambahan untuk mengetahui faktor predisposisi dilakukan pemeriksaan :
1.)    Pemeriksaan imunologi
2.)    Pemeriksaan spermatozoa
3.)    Biopsi bronkus dan mukosa nasal ( bronkopulmonal berulang).
2.      Pemeriksaan Radiologi.
a.       Foto dada  PA dan Lateral
Biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar  dan batas-batas corakan menjadi kabur, mengelompok,kadang-kadang ada gambaran sarang tawon  serta gambaran kistik dan batas-batas permukaan udara cairan. Paling banyak mengenai lobus paru kiri, karena mempunyai diameter yang lebih kecil kanan dan letaknya menyilang mediastinum,segmen lingual lobus atas kiri  dan lobus medius paru kanan.
b.      Pemeriksaan bronkografi
Bronkografi tidak rutin dikerjakan namun bila ada indikasi dimana untuk mengevaluasi penderita yang akan dioperasi yaitu pendereita dengan pneumoni yang terbatas pada suatu tempat dan berulang yang tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah mendapat pengobatan konservatif  atau penderita dengan hemoptisis yang masif.
      Bronkografi dilakukan sertalah keadaan stabil,setalah pemberian antibiotik dan postural drainage yang adekuat sehingga bronkus  bersih dari sekret..
G.  Kemungkinan Komplikasi
         Menurut buku Suyono (2001) ada beberapa komplikasi bronkiektasis yang dapat dijumpai pada pasien Bronkiektasis, antara lain :
1.      Bronkitis kronik
2.      Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering mengalami infeksi berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran nafas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada mereka yang draenase sputumnya kurang baik.
3.      Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia. Umumnya merupakanpleuritis sicca pada daerah yang terkena.
4.      Efusi pleura atau empiema (jarang)
5.      Abses metastasis di otak. Mungkin akibat septikema oleh kuman penyebabinfeksi sururatif pada bronkus. Sering terjadi penyebab kematian.
6.      Hemoptisis. Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabangvena (arteri pulmonalis), cabang aeteri (arteri bronkialis) atau anastomosis pembuluh darah. Komplikasi hemoptisis hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan bedah gawat darurat (indikasi pembedahan). Sering juga hemoptisis masih yang sulit diatasi ini merupakan penyebab kematian utama pasien bronkiektasis.
7.      Sinusitis. Keadaan ini sering di temukan dan merupakan bagian darikomplikasi bronkiektasis pada saluran nafas.
8.      Kor pulmonal kronik (KPK). Komplikasi ini sering terjadi pada pasien bronkiektasis yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa bagian paru. Pada kasus ini bila terjadi anastomosis cabang-cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus (bronkiektasis), akan terjadi arerio-venous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul seanosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor-polmonal kronik. Selanjutnya dapat terjadi gagal jantung kanan.
9.      Kegagalan pernapasan. Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada pasien bronkiektasis yang berat dan luas.
10.  Amiloidosis. Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai komplikasi klasik dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi amiloidosis ini sering ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinoria.
H.  Penatalaksanaan
Menurut www.goggle.com (2008) penatalaksanaan yang dapat dilakukan sebagai berikut :
1.      Pengobatan
Tujuan dari pengobatan adalah mengendalikan infeksi dan pembentukan dahak, membebaskan penyumbatan saluran pernafasan serta mencegah komplikasi.
Drainase postural yang dilakukan secara teratur setiap hari, merupakan bagian dari pengobatan untuk membuang dahak. Seorang terapis pernafasan bisa mengajarkan cara melakukan drainase postural dan batuk yang efektif.
Untuk mengatasi infeksi seringkali diberikan antibiotik, bronkodilator dan ekspektoran. Pengangkatan paru melalui pembedahan dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap pemberian obat atau pada penderita yang mengalami perdarahan hebat.
2.  Pencegahan
a.       Imunisasi campak dan pertusis pada masa kanak-kanak membantu menurunkan angka kejadian bronkiektasis.
b.      Vaksin influenza berkala membantu mencegah kerusakan bronkus oleh virus flu.
c.       Vaksin pneumokok membantu mencegah komplikasi berat dari pneumonnia pneumokok.
d.      Minum antibiotik dini saat infeksi juga mencegah bronkiektasis atau memburuknya penyakit.
e.       Pengobatan dengan imunoglobulin pada sindroma kekurangan imunoglobulin mencegah infeksi berulang yang telah mengalami komplikasi.
f.       Penggunaan anti peradangan yang tepat (seperti kortikosteroid), terutama pada penderita bronkopneumonia alergika aspergilosis, bisa mencegah kerusakan bronkus yang akan menyebabkan terjadinya bronkiektasis.
g.      Menghindari udara beracun, asap (termasuk asap rokok) dan serbuk yang berbahaya (seperti bedak atau silika) juga mencegah bronkiektasis atau mengurangi beratnya penyakit.
h.      Masuknya benda asing ke saluran pernafasan dapat dicegah dengan:
1.)    memperhatikan apa yang dimasukkan anak ke dalam mulutnya
2.)    menghindari kelebihan dosis obat dan alkohol
3.)    mencari pengobatan medis untuk gejala neurologis (seperti penurunan kesadaran) atau gejala saluran pencernaan (seperti regurgitasi atau batuk setelah makan).
i.        Tetes minyak atau tetes mineral untuk mulut atau hidung jangan digunakan menjelang tidur karena dapat masuk ke dalam paru.
j.        Bronkoskopi dapat digunakn untuk menemukan dan mengobati penyumbatan bronkus sebelum timbulnya kerusakan yang berat.
Menurut Suyono (2001) penatalaksanaan dari penderita penyakit bronkiektasis antara lain :
1.  Pengobatan
a. Pengobatan konservatif
1. ) Pengelolaan umum
a.)  Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
Contoh :
(1.) Membuat ruangan hangat,udara ruangan kering,
(2.) Mecegah atau menghentikan rokok
(3.) Mencegah atau menghindari debu, asap dan sebagainya
b.) Memperbaiki drainase secret bronkus
Contoh :
(1.) Melakukan draenase postural
            Merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi gejala,tetapi harus dikerjakan secara terus-menerus. Posisi tubuh sedemikian rupa sehingga dicapai draenase sputum secara maksimal. Ini dikerjakan selama 10 – 20 menit dan tiap hari dikerkan selama 2 sampai 4 kali.Prinsipnya adalah usaha mengeluarkan sputum (skret bronkus) dengan bantuan gaya gravitasiuntuk kerperluan tersebut.Posisinya harus disesuaikan dengan letak kelainan bronkiektasisnya.Tujuan untuk menggerkkan sputum dengan menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke hilus paru bahkan mengalir sampai tenggorokan,sehingga mudah dibatukkan ke luar.
(2.) Mencairkan sputum yang kental
            Hal ini dapat dilakukan dengan jalan, misalnya :
(a.)  Inhalasi uap air panas atau dingin (menurut keadaan),
(b.) Menggunakan obat-obatan mukolitik dan sebagainya.
(3.) Mengatur posisi tempat tidur pasien
Posisinya sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga posisi tidur pasien dapat mememudahkan draenase sekret bronkus. Hal ini dapat dicapai misal dengan menganjal kaki tempat tidur bagian tidur pasien(disesuaikan dengan kebutuhan) sehingga diperoleh posisi pasien yang sesuai untuk memudahkan drainase sputum.
c.) Mengontrol infeksi saluran nafas.
Adanya infeksi saluran nafas akut(ISPA) harus diperkecil dengan jalan mencegah pemajanan kuman. Apabila telah ada infeksi (ISPA) harus di berantas denangan antibiotik yang sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan.
2.) Pengobatan khusus
a.)   Kemoterapi pada bronkiektasis
Dapat di gunakan :
(1.) Secara kontinue untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA)
(2.) Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru,atau
(3.) Menggunakan oabt antibiotik tertentu,dan sebaiknya harus berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik.
b.)  Drainase sekret dengan bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan pasien. Keperluannya antara lain :
(1.) Menentukan dari mana asal sekret (spetum)
(2.) Mengidentifikasi lokasi obstruksi bronkus.
(3.) Menghilangkan obstruksi brinkus dengan suction drainage daerah obstruksi tadi.
3.) Pengobatan simtomatik
Sesuai dengan namanya, pengobatan ini hanya diberikan kalau timbul simtom yang mengganggu dan membahayakan pasien.
a)      Pengobatan obstruksi bronkus
      Dapat diberikan dengan obat bronkodilator. Apabila hasil tes bronkodilator positif,pasien perlu diberikan obat bronkodilator tersebut.
b)      Pengobatan hipoksia
      Dapat diberikan oksigen. Apabila pasien terdapat komplikasi bronkitis kronik, pemberian oksigen harus hati-hati, harus dengan aliran darah (cukup 1 liter/menit)
c)      Pengobatan hemoptisis
      Tindakan yang perlu segera diberikan adalah upaya menghentikan perdarahan tersebut. Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin merupakan perdarahan arterial yang memerlukan tindakan operatif segera untuk menghentikan perdarahannya.
d)      Pengobatan demam
      Diberikan antibiotik yang sesuai dosis cukup, dan perlu ditambahkan obat antipiretik seperlunya.
b. Pengobatan Pembedahan
                                      1.)  Tujuan pembedahan : mengangkat (reseksi) segmen/lobus paru yang terkena (terdapat bronkiektasis).
                                      2.)  Indikasi pembedahan
a)      pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan konservtif yang adekuat.
b)      pasien bronkiektasis yang terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis yang berasal dari daerah tersebut.
                                      3.)  kontraindikasi
a)      pasien bronkiektasis dengan PPOK
b)      pasien bronkiektasis berat
c)      pasien bronkiektasis dengan komplikasi kor-pulmonal kronik dekompensata
                                4.)        Syarat-syarat operasi
a)      kelainan (bronkiektasis) harus terbatas dan resektabel.
b)      daerah paru yang terkena telah mengalami perubahan yang ireversibel
c)      bagian paru yang lain harus masih baik, misalnya tidak boleh ada bronkiektasis atau bronkitis kronik.
                                5.)        Cara operasi
a)      operasi efektif : pasien-pasien yang memenuhi, indikasi dan tidak terdapat kontraindikasi, yang gagal dalam pengobatan konservatif dipersiapkan secara baik untuk operasi.
b)      operasi paliatif : ditujukan pada pasien bronkiektasis yang mengalami keadaan gawat darurat paru,.
                                6.)        Persiapan operasi
a)      pemeriksaan faal paru : pemeriksaan spirometri, analisis gas darah, pemeriksaan bronkospirometri.
b)      scanning dan USG
c)      meneliti ada tidaknya kontraindikasi operasi pada pasien
d)     memperbaiki keadaan umum pasien.










I. Pathway
Obstruksi bronkus
 
Herediter
 
Infeksi pernafasan
 
                                                    














 



Gangguan ventilasi
 
            
 












Ansietas
 
                                           







Gangguan nutrisi
 


Gangguan pertukaran gas
 



Brunner & Suddarth (2002) Doengoes (2000)
Suyono (2001)
 


 




J.  Fokus intervensi
Menurut Doengoes (2000) intervensi yang dapat dilakukan kepada pasien yang menderita bronkiektasis adalah sebagai berikut :
1.      Tidak efektif bersihan jalan nafas b/d peningkatan produksi   sekret, sekret kental.
Tujuan : Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas.          
Kriteria hasil : Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas ( batuk yang     efektif, dan mengeluarkan secret.)         
Intervensi :
a         Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas
      R/  Derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat /tak dimanisfestasikan adanya bunyi nafas.
b        Kaji /pantau frekuensi pernafasan.Catat rasio inspirasi dan ekspirasi
R/ Tacipneu biasanya ada pada beberapa derajat dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ proses infeksi akut. Pernafasan melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang disbanding inspirasi
c         Kaji pasien untuk posisi yang nyaman,Tinggi kepala tempat tidur dan duduk pada sandaran  tempat tidur
R/  Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan mempergunakan gravitasi. Dan mempermudah untuk bernafas serta membantu menurunkan kelemahan otot-otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.
d        Bantu latihan nafas abdomen atau bibir
R/   Untuk mengatasi dan mengontrol dispneu dan menurunkan jebakan udara
e         Observasi karakteriktik  batuk dan Bantu tindakan untuk efektifan upaya batuk
R/   Mengetahui keefektifan batuk
f         Tingkatan masukan cairan samapi 3000ml/hari sesuai toleransi jantung serta berikan hangat dan masukan cairan antara sebagai penganti makan
R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan secret,mempermudah pengeluaran.cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan antara makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekana diafragma.
g        Berikan obat sesuai indikasi
R/   Mempercepat proses penyembuhan.
2.      Gangguan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen dan   kerusakan alveoli.      
Tujuan : Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.          
Kriteria hasil : GDA dalam batas normal, warna kulit membaik, frekuensi nafas 12-  24x/mt,bunyi nafas bersih, tidak ada batuk,frekuensi nadi 60-100x/mt,tidak dispneu.
  Intervensi :
a         Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan serta catat penggunaan otot aksesori
R/  untuk mengevaluasi derajat distress pernafsan/ kronisnya suatu penyakit.
b        Tingikan kepala tempat tidur dan Bantu untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas .Kaji / awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa
R/  Suplai oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas.
c         Dorong untuk pengeluaran sputum/ penghisapan bila ada indikasi
R/  Sputum menganggu proses pertukaran gas  serta penghisapan dilakukan bila batuk tidak efektif.
d        Awasi tingkat kesadaran / status mental
R/ Manisfestasi umum dari hipoksia
e         Awasi tanda vital dan status jantung
R/ Perubahan tekanan darah menunjukkan efek hipoksia sistemik pada fungsi jantung
f         Berikan oksigen tambahan dan pertahankan ventilasi mekanik dan Bantu intubasi
R/  Dapat memperbaiki atau mencegah terjadinya hipoksia dan kegagalan nafas serta tindakan untuk penyelamatan hidup.
3.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual muntah, produksi sputum, dispneu
Tujuan  : Peningkatan dalam status nutrisi dan berat badan pasien
Kriteria hasil : Pasien tidak mengalami kehilangan berat badan lebih lanjut atau mempertahankan berat badan.
              Intervensi :
a         Pantau masukan dan keluaran tiap 8 jam, jumlah makanan yang dikonsumsi serta timbang berat badan tiap minggu.
R/ Untuk mengidentifikasi adanya kemajuan atau penyimpangan dari yang diharapkan
b        Ciptakan suasana yang menyenangkan ,lingkungan yang bebas dari bau selama waktu makan
R/ suasana dan lingkungan yang tak sedap selama waktu makan dapat meyebakan anoreksia
c         Rujuk pasien ke ahli diet untuk memantau merencanakan makanan yang akan dikonsumsi
R/ Dapat membantu pasien dalam merencanakan makan dengan gisi yang sesuai.
d        Dorong klien untuk minum minimal 3 liter cairan perhari, jika tidak mendapat infus.
R/ untuk mengatasi dehidrasi pada pasien
4.      Resiko tinggi terhadap infeksi b/d proses penyakit kronis, malnutrisi.
Tujuan : Tidak terjadi/ adanya gejala –gejala infeksi
Kriteria hasil : Tidak terjadi infeksi suhu tbuh berkisar 36-37 0c,Sel darah putih 5000-10000/mm.batuk produktif tidak ada.
             Intervensi :
a         Pantau suhu pasien tiap 4 jam, hasil kultur sputum dan hasil pemeriksaan leokusit serta warna dan konsistensi sputum
R/  Untuk mengidentifikasi  kemajuan yang dapat dicapai dan penyimpangan dari sasaran yang diharapkan ( infeksi yang mungkin terjadi ).
b        Lakukan pemeriksaan sputum untuk pemeriksaan kultur.
R/Dapat membantu menegakkan diagnosa infeksi saluran nafas dan mengidentifikasi kuman penyebabnya.
c         Berikan nutrisi yan adekuat
R/ malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahan terhadap infeksi.
d        Berikan antibiotik sesuai anjuran dan evaluasi keefektifannya
R/ Sebagai pencegahan dan pengobatan infeksi dan mempercepat proses penyembuhan.
5.      Ansietas b/d takut kesulitan bernafas selama fase eksaserbasi,  kurang pengetahuan tentang pengobatan yang akan dilaksanakan.
Tujuan : Hilangnya ansietas
Kriteria hasil :  Ekspresi wajah rileks, frekuensi nafas antara 12-24 x/mt,frekuensi   nadi 60-100x/mt.
Intervensi  :
a         Selama periode distress pernafasan akut :
                                1.)        Batasi jumlah dan frekuensi pengunjung
                                2.)        Mulai berikan oksigen lewat kanula sebanyak 2 ltr/mt
                                3.)        Demontrasikan untuk kontrol pernafasan
                                4.)        Ijinkan seseorang untuk menemani pasien
                                5.)        Pertahankan posisi fowler dengan posisi lengan menopang
R/  Membantu pasien untuk mengontrol keadaannya dengan meningkatkan relaksasi  dan meningkatkan jumlah udara yang masuk paru-paru
b        Hindari pemberian informasi  dan instruksi yang bertele-tele/sederhana mungkin ketika pasien mengalami distress dan lakukan pendekatan dengan pasien secara tenang dan menyakinkan.
R/   Pasien dapat menerima sedikit informasi dalam keadaan gelisah dan terlalu banyak informasi dapat meningkatkan ansietas dan memberitauhkan apa yang diharpkan makakan dapat membantu penurunan ansietas.
c         Gunakan obat sedatif sesui dengan yang diresepkan.
R/ Obat penenang dapat mengontrol tingkat ansietasnya.
6.      Intoleransi aktivitas b/d kerusakan pertukaran gas
Tujuan : Klien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
Kriteria hasil : Menurunnya keluhan tentang napas pendek dan lemah dalam melaksanakan aktivitas
Intervensi :
1.      Pantau nadi dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah aktivitas
R/  Mengidentifikasi kemabali penyimpangan tujuan yang diharapkan
2.      Berikan bantuan dalam melaksanakan aktivitas sesuai yang diperlukan  dan dilakukan secara bertahap
R/  Dapat mengurangi pengunaan energi yang berlebihan
3.      Anjurkan makanan dalam porsi kecil tapi sering dengan makanan yang mudah dikunyah.
R/  Makanan dalam porsi besar sasah dikunyah dan memerlukan banyak energi





















Daftar Pustaka

1.      Brunner & Suddarth, (2002). Keperawatan medical bedah volume I.
Jakarta : EGC.

2.      Doengoes, M.E. (2000). Rencana asuhan keperawatan pedoman
untuk perencnaan /pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC

3.      Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan kritis : pendekatan holistik. 
Jakarta : EGC.

4.      http//.www.goggle.com

5.      Long, B.C. (1996). Perawatan medikal bedah : suatu pendekatan
proses keperawatan, alih bahasa yayasan ikatan alumni pendidikan keperawatan bandung. Bandung : Yayasan IAPK

6.      Soeparman & Sarwono, W. (1998). Ilmu penyakit dalam jilid II.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.










     ASUHAN KEPERAWATAN LIUKIMIA


BAB I
TINJAUAN TEORI


  1. Definisi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum tulang, menggantikan sum-sum tulang normal.
Menurut Dr. Hendra Utama (1994), leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk yang tidak normal, jumlahnya berlebihan dapat menyebabkan anemia, trombositopenia dan diakhiri dengan kematian.
Menurut E. Doenges (2000), leukemia adalah suatu bentuk kanker yang timbul pada organ pembentukan  darah pada tubuh. (limfa, system limfatik, sum-sum tulang).
Menurut Sylvia A.Price (1995), leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai oleh proliferasi abnormal dari sel-sel hematopoietik.
Menurut www.google.co.id / http://id.wikipedia.org/wiki/leukemia, leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum tulang dan limfa nadi .Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi proliferasi di hati, limpa dan nodus limfatikus, dan invasi organ non hematologis, seperti meninges, traktus gastrointesinal, ginjal dan kulit.


  1. Etiologi
Menurut Dr. Hendra Utama (1994), etiologi dari leukemia adalah sebagai berikut  :
1.      Faktor genetik
2.      Sinar radio aktif
3.      Virus
Menurut www.google.co.id / http://id.wikipedia.org/wiki/leukemia, penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti :
1.      Radiasi
      Radiasi dapat meningkatkan frekuensi leukosit. Beberapa laporan yang mendukung: lingkungan kerja, pranatal, pengobatan kanker sebelumnya, para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia, penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia, serta leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
2.      Herediter
Penderita sindrom down memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal.
3.      Bahan kimia
Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen antineoplastik.
4.      Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa. virus tertentu meyebabkan terjadinya perubahan struktur gen ( T cell leukemia-lymphomavirus/ HTLV).


  1. Klasifikasi
Menurut  www.google.co.id / http://id.wikipedia.org/wiki/leukemia, maka leukemia dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi yaitu:
1.      Leukemia limfositik akut (LLA)
3.      Leukemia limfositik kronis (LLK)



  1. Patofisiologi
Menurut Sylvia A.Price (1995), patofisiologi mengenai leukemia dapat dijabarkan sebagai berikut :
Leukemia limfositik akut. Walaupun leukemia limfositik akut (LLA) terdapat pada 20% orang dewasa yang menderita leukemia, keadaan ini merupakan kanker yang paling sering menyerang anak-anak dibawah umur 15 tahun, dengan puncak insiden antara umur 3 dan 4 tahun. Manifestasi LLA berupa proliferasi limfoblas abnormal dalam sumsum tulang dan tempat-tempat ekstramedular (di luar sumsum tulang yaitu kelenjar limfe dan limpa). Tanda dan gejala, seperti pada LGA, dikaitkan dengan penekanan unsur-unsur sumsum tulang normal. Karena itu, infeksi, perdarahan dan anemia merupakan manifestasi utama. Menurut Elizabeth (2001), oleh karena terjadinya peningkatan jumlah sel darah putih menyebabkan terjadinya penekanan pada jumlah trombositnya, sehingga pasien yang menderita penyakit ini dengan mudah dapat terjadi perdarahan yang mengakibatkan terjadinya anemia dan ekimosis. Selain itu kadar oksigen yang dibawa otomatis kurang dari kebutuhan tubuh, sehingga menyebabkan terjadinya hipoksia. Peningkatan asam laktat oleh karena glikolisis anaerob menyebabkan ph sel dan darah menurun sehingga terjadi kerusakan struktur inti membran sel mikrofilamen.   
Leukemia granulositik atau mielositik akut bertanggung jawab atas 80% Leukemia pada orang dewasa. Permulaannya mungkin mendadak atau progresif dalam masa 1 sampai 6 bulan. Jika tidak diobati, kematian terjadi kira-kira dalam 3 sampai 6 bulan. Pengobatan dengan kemoterapi kombinasi mampu mmembuat sekitar 65% sampai 85% penderita mencapai remisi sempurna. Kira-kira 20% penderita dapat mencapai masa bebas penyakit selama 5 tahun. Pada saat ini 50% anak-anak dan kira-kira 35% orang dewasa muda disembuhkan dengan kemoterapi intensif. Manifestasi klinis berkaitan dengan berkurangnya atau tidak adanya sel hematopoietik normal. Ada bukti bahwa leukemia akut merupakan neoplasma uniklonal yang berasal dari transformasi satu atau beberapa sel hematopoietik. Sifat sebenarnya dari lesi molekular yang bertanggung jawab atas sifat-sifat neoplastik dari sel yang berubah bentuknya tidak jelas, tetapi efek kritis adalah intrinsik dan dapat diturunkan oleh keturunan sel tersebut. Tanda dan gejala leukemia granulositik atau mielositik akut berkaitan dengan netropenia dan trombositopenia. Ini adalah infeksi berat yang rekuren disertai timbulnya tukak pada membran mukosa, abses perirektal, pneumonia, septicemia disertai menggigil, demam, takikardia, dan takipnea.  Menurut Doenges (2000), oleh karena adanya resiko infeksi dari adanya abses, anemia dan lain-lain dapat merangsang hipotalamus sehingga hipotalamus memproduksi panas yang berlebihan sehingga pasien yang menderita dapat terkena demam. Oleh karena adanya infeksi tersebut maka terjadi septicemia, yang kemudian menyebar secara sistemik ke rektal dan pada perenkim paru.  
Leukemia limfositik kronik merupakan suatu gangguan limfoproliferatif yang ditemukan pada kelompok umur tua (sekitar umur 60 tahun) dengan perbandingan 2:1 untuk pria. Manifestasi klinisnya oleh proliferasi dan akumulasi limfosit matang kecil dalam sumsum tulang, darah perifer, dan tempat-tempat ekstramedular dengan kadar yang mencapai 100.000/mm3 atau lebih. Limfosit abnormal umumnya adalah limfosit B, yang mengakibatkan insufisiensi sistesis immunoglobulin dan penekanan respon antibody. Awitannya lambat dan sering ditemukan pada pemeriksaan rutin darah atau karena limfadenopati dan splenomegali yang tanpa menimbulkan rasa sakit. Waktu penyakitnya berkembang, hati juga membesar. Penderita yang hanya menderita limfositosis dan limfadenopati dapat bertahan 10 tahun atau lebih lama. Anemia dini dan trombositopenia menggambarkan prognosis buruk dengan daya hidup rata-rata 2 tahun. Tanda dan gejala yang serupa dengan LGK menggambarkan keadaan hipermetabolik. Pembesaran organ secara pasif menyebabkan tekanan mekanik pada lambung sehingga menimbulkan gejala cepat kenyang, rasa tidak enak pada abdomen, dan buang air besar tidak teratur. Mungkin terjadi infeksi kulit dan penemonia, keadaan ini terjadi sekunder akibat adanya perubahan imunologi dan netropenia.
Leukemia granulositik atau mielositik kronis paling sering terlihat, pada orang dewasa usia pertengahan tetapi dapat  juga timbul pada setiap kelompok umur lainnya. Tidak seperti LGA, LGK memiliki awitannya yang lambat, sering ditemukan sewaktu dilakukan pemeriksaan rutin atau skrining darah. LGK dianggap sebagai suatu kelainan mieloproliferatif  karena sumsum tulang penderita ini menunjukkan gambaran hiperselular, disertai dengan adanya proliferasi pada semua garis diferensiasi sel. Tanda dan gejala berkaitan dengan keadaan hipermetabolik – kelelahan, kehilangan berat badan, diaforesis meningkat, dan tidak tahan pada panas. Menurut Brunner dan Suddarth (2002), oleh karena adanya defisiensi dari Fe maka pengikatan oksigenpun berkurang sehingga metabolisme tubuhpun menurun, sehingga menyebabkan jumlah energi yang dihasilkan sedikit, sehingga pasien mudah mengalami kelelahan. Selain itu dapat juga terjadi defisiensi B12 yang menyebabkan terganggunya pembentukkan sel darah merah sehingga tidak adequatnya pertahanan sekunder dan penurunan lapisan substansia menyebabkan pasien resti nfeksi dan lama kelamaan akan menginvasi daripada hepar dan lien sehingga menyebabkan hepatosplenomegali. Peningkatan panas yang terjadi pada pasien leukemia akan dibarengi dengan penurunan nafsu makan yang akan menyebabkan peningkatan histamin, sehingga HCL yang disekresikan jumlahnya bertambah, sehingga menyebabkan refluk yang berakibat pasien mual muntah.  Limpa membesar pada 90% kasus yang mengakibatkan perasaan penuh pada abdomen dan mudah terasa kenyang. Walaupun telah dilaporkan ada yang tetap hidup dalam waktu yang lama, tetapi angka mediannya sekitar 3 tahun, baik diberi pengobatan maupun tanpa pengobatan. Pengobatan dengan kemoterapi intermiten ditujukan pada penekanan hematopoiesis. Yang berlebihan dan megurangi ukuran limpa. Berbagai penderita menjadi lebih progresif, fase resisten disertai pembentukkan mieloblas yang berlebihan (Transformasi blas). Kematian terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan setelah transformasi blas. Suatu transplantasi sumsum tulang dari individu lain (allogenik) yang dilakukan pada fase kronik stabil penderita LGK memberikan suatu harapan kesembuhan pada penyakit yang dapat menjadi fatal ini. Walaupun morbiditas dan mortalitas selama transplantasi tetap tinggi, hal ini harus dipikirkan untuk semua penderita muda yang memiliki saudara kandung identik. Menurut E. Behrman (1998), penderita syndrom down palin berpotensi terkena leukemia, karena dapat menyebabkan perubahan perubahan gen dan akhirnya akan mempengaruhi produktifitas dari leukosit.


  1. Tanda dan gejala
Menurut Sylvia A.Price (1995), tanda gejala pasien leukemia adalah sebagai berikut :
1.      Leukemia limfositik akut
a.       Infeksi
b.      Perdarahan
c.       Anemia
2.      Leukemia granulositik atau mielositik akut
a.       Trombositopenia
b.      Abses perirektal
c.       Pneumonia
3.      Leukemia limfositik kronik
a.       Rasa tidak enak pada abdomen
b.      Buang air besar tidak teratur
4.      Leukemia granulositik atau mielositik kronis
a.       Hipermetabolik
b.      Kelelahan


F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut E. Doenges (2000) dan www.google.co.id / http://id.wikipedia.org/wiki/leukemia, pemeriksaaan diagnostic pada pasien leukemia adalah sebagai berikut :
1.      Hitung darah lengkap       :  menunjukkan normositik, anemia normositik.
2.      Hemoglobin                      :  dapat kurang dari 10 g/dl.
3.      Retukulosit                        : jumlah biasanya rendah.
4.      Jumlah trombosit               : mungkin sangat rendah (<50.000/mm3).
5.      SDP                                   : mungkin lebih dari 50000/cm dengan peningkatan SDP immature.
6.      PTT                                   : memanjang
7.      LDH                                  : mungkin meningkat
8.      Asam urat serum mungkin meningkat
9.      Muramidase serum            : pengikatan pada leukemia monositik akut dan mielomonositik
10.  Copper serum                    : meningkat
11.  Zink serum                        : menurun
12.  Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan


G. Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), komplikasi dari penyakit leukemia yang mungkin muncul adalah : 
1.      Infeksi
2.      Perdarahan


H. Penatalaksanaan
Menurut www.google.co.id / http://id.wikipedia.org/wiki/leukemia, penatalaksanaan pada pasien yang menderita leukemia adalah :
1.      Pelaksanaan kemoterapi
2.      Irradiasi kranial
Terdapat tiga fase pelaksanaan kemoterapi
a.       Fase induksi
Dimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan behasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda berkurang.
b.      Fase Profilaksis
Sistem saraf pusat Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan hydrocotison melaui intrathecal untuk mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf pusat
c.       Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.







 
































J. Fokus Intervensi
Menurut E. Doenges (2000) intervensi yang dapat dilakukan kepada pasien yang menderita leukemia adalah sebagai berikut :
1.  Infeksi berhubungan dengan tak adekuat pertahanan sekunder.

Intervensi
Rasional
1.      Tempatkan pada ruangan yang khusus, batasi pengunjung sesuai indikasi. Hindarkan menggunakan tanaman hidup / bunga potong, batasi buah segar dan sayuran.
2.      Awasi suhu, perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan pengobatan kemoterapy. Observasi demam sehubungan dengan taki kardia, hipotensi, perubahan mental samar.
3.      Cegah menggigil, tingkatkan cairan, berikan mandi kompres .



4.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian abtibiotik dan antipiretik (hindari penggunaan antipiretik yang mengandung aspirin).
1.      Melindungi dari sumber potensial pathogen / infeksi (supresi sumsum tulang berat, neutropenia, dan kemoterapi menempatkan pasien pada resiko besar untuk infeksi
2.      Hipertermi lanjut terjadi pada beberapa tipe infeksi dan demam terjadi pada kebanyakan pasien yang menderita leukemia.


3.      Membantu menurunkan demam, yang menambah ketidak seimbangan cairan, ketidaknyamanan dan komplikasi SSP.

4.      Mengobati terjadinya infeksi dan menurunkankan panas tanpa menyebabkan perdarahan pada gaster dan penurunan jumlah trombosit lanjut.

2.  Nyeri akut berhubungan dengan adanya pembesaran organ/ nodus limfe sumsum tulang yang dikemas dengan sel leukemik.

Intervensi
Rasional
1.      Observasi skala  nyeri

2.      Awasi tanda vital, perhatikan petunjuk nonverbal, misalnya adanya tegangan otot, gelisah.
3.      Berikan posisi yang nyaman dan sokong sendi, ekstremitas dengan bantal.
4.      Ajarkan tehnik relaksasi.

5.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian Analgesik contoh Asetaminofen (Tylenol).
6.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalama pemberian narkotik, misalnya kodein, meperdin, morfin.
1.      Membantu mengkaji kebutuhan untuk intervensi
2.      Dapat membantu mengevaluasi pernyataan verbal, dan keefektifan intervensi.
3.      Dapat menurunkan ketidaknyamanan tulang / sendi.
4.      Membantu menejemen nyeri dengan perhatian langsung.
5.      Menghilangkan nyeri ringan yang tidak bisa hilang dengan tindakan kenyamanan.

6.      Digunakan bila nyeri berat.



3.  Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan cadangan energi, ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

Intervensi
Rasional
1.      Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari- hari.
2.      Berikan lingkungan yang tenang dan periode istirahat tanpa gangguan.
3.      Implementasikan tehnik penghematan energi. Contoh lebih baik duduk dari pada berdiri. Bantu ambulasi / aktrivitas lain sesuai indikasi.
4.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian oksigen tambahan 
1.      Efek leukemia, anemia, dan kemoterapy mungkin kumulatif (khususnya dala masa pengobatan akut dan aktif).
2.      Menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler
3.      Memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri.



4.      Memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan seluler.








BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN


  1. Fokus Pengkajian
      1. Data Subjektif
a.       Data Klien : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Agama, Suku Bangsa, Status Perkawinan, Pendidikan, Pekerjaan, Golongan Darah, Alamat.
b.      Data Penanggung Jawab : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Agama, Suku Bangsa, Status Perkawinan, Pendidikan.
      2. Data objektif
a.       Riwayat Kesehatan
1)      Aktivitas
a)      Gejala    :  kelelahan, malaise , kelemahan : ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas  biasanya.
b)      Tanda     : kelelahan otot, peningkatan kebutuhan tidur,  somnolen.
2)      Sirkulasi
a)      Gejala     :  palpitasi
b)      Tanda    : pakikardia, murmur jantung, membran mukosa pucat, defisit saraf cranial dan perdarahan serebral.
3)      Eliminasi
a)Gejala        : diare, nyeri tekan perianal
b)      Tanda     : hematuria, feses hitam.
4)      Integritas ego
a)      Gejala     :  perasaan tak berdaya dan tidak ada harapan hidup.
b)      Tanda     : depresi, menarik diri, ansietas, perubahan alam perasaan, takut, marah , mudah terangsang, kacau.
5)      Makanan dan cairan
a)      Gejala     :  anoreksia, perubahan rasa, penurunan berat badan, nausea dan vomiting, perubahan rasa.
b)      Tanda     :  distensi abdominal, penurunan bunyi usus, stomatitis, ulkus mulut, splenomegali, hipertrofi gusi.
6)      Nurosensori
a)      Gejala     : penurunan koordinasi, perubahan alam perasaan, pusing, parestesi.
b)      Tanda     :  kejang, otot mudah terangsang.
7)      Nyeri dan keamanan
a)      Gejala     : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang dan sendi, nyeri tekan sternal, kram otot.
b)      Tanda     : perilaku berhati-hati, gelisah, fokus pada diri sendiri.
8)      Respirasi
a)      Gejala     :  nafas pendek dengan kerja minimal.
b)      Tanda     :  dispnea, takipnea, batuk, ronchi, wheezing, gemeritik.
9)      Keamanan
a)      Gejala     : riwayat infeksi saat ini, dahulu ; jatuh, gangguan penglihatan, perdarahan spontan tak terkontrol dengan trauma minimal.
b)      Tanda     : demam, infeksi, kemerahan, purpura, perdarahan retinal, perdarahan gusi, epistaksis, pembesaran nodus limfe, papiledema, infiltrate pada dermis.
10)  Sexualitas
a)      Gejala     : perubahan libido, perubahan aliran menstruasi
b)      Tanda     : menoragia, impotent.



    1. Pemeriksaan fisik.
1)      Kesadaran umum: terjadi penurunan tingkat kesadaran.
2)      GCS kurang dari 15
3)      TTV (Perubahan tanda-tanda vital)
4)      Pemeriksaan Kepala
a)      Bentuk kepala
b)      Rambut
c)      Mata
d)     Hidung
e)      Telinga
f)       Mulut
5)      Leher
6)      Thorak
a)      Jantung            : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
b)      Paru-paru         : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
7)      Abdomen : IAPP (Inspeksi, Auskultasi, Perkusi, Palpasi)
8)      Ektremitas
9)      Genetalia


  1. Diagnosa Keperawatan
1.      Infeksi berhubungan dengan tak adekuat pertahanan sekunder.
2.      Nyeri akut berhubungan dengan adanya pembesaran organ/ nodus limfe sumsum tulang yang dikemas dengan sel leukemik.
3.      Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan cadangan energi, ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.




  1. Intervensi
1.      Infeksi berhubungan dengan tak adekuat pertahanan sekunder.

Intervensi
Rasional
1.      Tempatkan pasien pada ruangan yang khusus, batasi pengunjung sesuai indikasi. Hindarkan menggunakan tanaman hidup / bunga potong, batasi buah segar dan sayuran.
2.      Awasi suhu, perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan pengobatan kemoterapy. Observasi demam sehubungan dengan taki kardia, hipotensi, perubahan mental samar.
3.      Cegah menggigil, tingkatkan cairan, berikan mandi kompres .


4.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian abtibiotik dan antipiretik (hindari penggunaan antipiretik yang mengandung aspirin).
1.      Melindungi dari sumber potensial pathogen / infeksi (supresi sumsum tulang berat, neutropenia, dan kemoterapi menempatkan pasien pada resiko besar untuk infeksi.

2.      Hipertermi lanjut terjadi pada beberapa tipe infeksi dan demam terjadi pada kebanyakan pasien yang menderita leukemia.



3.      Membantu menurunkan demam, yang menambah ketidak seimbangan cairan, ketidaknyamanan dan komplikasi SSP.
4.      Mengobati terjadinya infeksi dan menurunkankan panas tanpa menyebabkan perdarahan pada gaster dan penurunan jumlah trombosit lanjut

2.      Nyeri akut berhubungan dengan adanya pembesaran organ/ nodus limfe sumsum tulang yang dikemas dengan sel leukemik.

Intervensi
Rasional
1.      Observasi skala  nyeri

2.      Awasi tanda vital, perhatikan petunjuk nonverbal, misalnya adanya tegangan otot, gelisah.
3.      Berikan posisi yang nyaman dan sokong sendi, ekstremitas dengan bantal.
4.      Ajarkan tehnik relaksasi.

5.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian Analgesik contoh Asetaminofen (Tylenol).
6.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalama pemberian narkotik, misalnya kodein, meperdin, morfin.
1.      Membantu mengkaji kebutuhan untuk intervensi
2.      Dapat membantu mengevaluasi pernyataan verbal, dan keefektifan intervensi.

3.      Dapat menurunkan ketidaknyamanan tulang / sendi.

4.      Membantu menejemen nyeri dengan perhatian langsung.
5.      Menghilangkan nyeri ringan yang tidak bisa hilang dengan tindakan kenyamanan.

6.      Digunakan bila nyeri berat.

3.      Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan cadangan energi, ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

Intervensi
Rasional
1.      Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari- hari.
2.      Berikan lingkungan yang tenang dan periode istirahat tanpa gangguan.
3.      Implementasikan tehnik penghematan energi. Contoh lebih baik duduk dari pada berdiri. Bantu ambulasi / aktrivitas lain sesuai indikasi.
4.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian oksigen tambahan. 
1.      Efek leukemia, anemia, dan kemoterapy mungkin kumulatif (khususnya dala masa pengobatan akut dan aktif).
2.      Menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler.
3.      Memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri.



4.      Memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan seluler.









  1. Implementasi
1.   Infeksi berhubungan dengan tak adekuat pertahanan sekunder.
a.       Menempatkan pasien pada ruangan yang khusus, batasi pengunjung sesuai indikasi. Hindarkan menggunakan tanaman hidup / bunga potong, batasi buah segar dan sayuran.
b.      Awasi suhu, perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan pengobatan kemoterapy. Observasi demam sehubungan dengan taki kardia, hipotensi, perubahan mental samar.
c.       Cegah menggigil, tingkatkan cairan, berikan mandi kompres .
d.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian abtibiotik dan antipiretik (hindari penggunaan antipiretik yang mengandung aspirin).
2.  Nyeri akut berhubungan dengan adanya pembesaran organ/ nodus limfe sumsum tulang yang dikemas dengan sel leukemik.
a.       Observasi skala  nyeri.
b.      Awasi tanda vital, perhatikan petunjuk nonverbal, misalnya adanya tegangan otot, gelisah.
c.       Berikan posisi yang nyaman dan sokong sendi, ekstremitas dengan bantal.
d.      Ajarkan tehnik relaksasi.
e.       Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian Analgesik contoh Asetaminofen (Tylenol).
f.       Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalama pemberian narkotik, misalnya kodein, meperdin, morfin. 2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya pembesaran organ/ nodus limfe sumsum tulang yang dikemas dengan sel leukemik.
3.  Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan cadangan energi, ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
a.       Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari- hari.
b.      Berikan lingkungan yang tenang dan periode istirahat tanpa gangguan.
c.       Implementasikan tehnik penghematan energi. Contoh lebih baik duduk dari pada berdiri. Bantu ambulasi / aktrivitas lain sesuai indikasi.
d.      Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian oksigen tambahan. 


  1. Evaluasi
1.      Infeksi berhubungan dengan tak adekuat pertahanan sekunder.
a.       Pasien terlindungi dari sumber potensial pathogen / infeksi (supresi sumsum tulang berat, neutropenia, dan kemoterapi menempatkan pasien pada resiko besar untuk infeksi.
b.      Pasien tidak mengalami hipertermi lanjut yang biasanya terjadi pada beberapa tipe infeksi dan demam terjadi pada kebanyakan pasien yang menderita leukemia.
c.       Demam pasien turun.
d.      Infeksi pasien terobati dan menurunkankan panas tanpa menyebabkan perdarahan pada gaster dan penurunan jumlah trombosit lanjut.
2.      Nyeri akut berhubungan dengan adanya pembesaran organ/ nodus limfe sumsum tulang yang dikemas dengan sel leukemik.
a.       Kebutuhan untuk intervensi pasien terpenuhi.
b.      Pengevaluasia pernyataan verbal, dan keefektifan intervensi pasien tercapai.
c.       Ketidaknyamanan tulang / sendi pasien terobati.
d.      Pasien mendapatkan menejemen nyeri dengan perhatian langsung.
e.       Nyeri ringan yang tidak bisa hilang dengan tindakan kenyamanan pasien hilang.
3.      Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan cadangan energi, ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
a.       Efek leukemia, anemia, dan kemoterapy mungkin kumulatif (khususnya dala masa pengobatan akut dan aktif) teratasi.
b.      Pasien mampu beraktifitas tanpa perlu menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler
c.       Pasien mampu memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri.
d.      Pasien mampu memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan seluler.







DAFTAR PUSTAKA


Utama, Hendra. (1994).Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:FKUI
Doenges, E.(2000).Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC
Price, A. Silvia.(1995).Patofisiologi.Jakarta:EGC
Suddarth. Brunner.(2002).Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC
Elizabeth.(2001).Patofisiologi.Jakarta:EGC
www. google.co.id / http://id.wikipedia.org/wiki/leukemia
E. Behrman.(1998).Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:EGC


 

SEMOGA BERMANFAAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar